Gempa,
Pariwisata, dan Bahasa
Oleh:
Marzuki Wardi
Sumber:https://beritagar.id/artikel/berita/masa-kritis-evakuasi-korban-gempa-lombok |
Esai ini menjadi pemenang ke-2 dari sepuluh terbaik dalam Lomba Fotograpi, Poster, Film Pendek, dan Penulisan Kreatif yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfotik Provinsi NTB pada tahun 2018
Sewaktu
pulang mengikuti acara Kemdikbud di Jakarta dua minggu yang lalu, saya sempat
menanyakan sopir travel bandara yang saya tumpangi, “Bagaimana perkembangan
jumlah pengunjung atau penumpang di bandara pasca gempa dahsyat yang
mengguncang pulau Lombok?”
“Menurun
drastis,” jawabnya dengan nada tertekan dan raut lesu. Saya sendiri tidak tahu
apakah dia memang capai ataukah kaget dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba. Saya
pun lanjut bertanya, “Untuk hari ini aja, berapa penumpang yang sudah Mas
antar?”
“Baru
dua. Hanya pelinggih[1]
dan satunya lagi tadi pagi. Tapi, syukur bos saya pengertian. Ia memahami
kondisi yang belum pulih. Jadi kalau target setoran tidak mencukupi, ia terima
saja tanpa komplain.”
“Oh
ya, minggu depan, tepatnya hari Minggu ini, akan ada event besar-besaran di Kute: TNI International Marathon. Para atlet
lari dari berbagai daerah dan Negara akan datang kesini untuk berkompetisi
dalam ajang bergengsi itu. Tentu akan banyak yang membutuhkan jasa kendaraan.
Mas siap-siap aja,” balas saya menyemangati.
“Ya,
semoga aja ramai, Pak,” timpal si sopir menutup percakapan singkat kami.
Mendengar
keluhan laki-laki yang saya duga sudah berkepala tiga itu, saya sedikit merasa
menyesal telah menawar bayaran padanya—meski hanya menawar sekali saja setelah
akhirnya langsung deal. Apalagi saat
itu sudah cukup malam. Boleh jadi saya adalah penumpang kedua sekaligus
terakhirnya. Saya bukannya pelit, dan memang tidak terbiasa banyak menawar soal
jasa apa pun. Akan tetapi, alasan saya saat itu adalah selain biaya
transportasi pulang dibiayai hanya sampai Yogyakarta—karena tiket pulang sengaja
saya alihkan ke sana—uang saya juga sudah lumayan tipis. Sehingga irit adalah salah satu jurus terakhir
yang harus saya keluarkan.
Pada
saat yang sama, pikiran saya juga tertuju pada seorang teman yang mengelola
peternakan ayam pejantan, di mana ia juga sekaligus menjadi pemasok barang dalam
jumlah besar ke berbagai hotel dan restoran. Lima bulan yang lalu, tepatnya
pada saat acara Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2018, Lomba Kompetensi Siswa
(LKS) SMK Nasional, Olimpiade Guru Nasional, dan beberapa acara bertaraf
nasional dan internasional yang diselenggarakan di pulau Lombok, ia sempat bercerita
betapa koalahannya ia melayani pesanan yang berlimpah dari para pelanggannya.
Bahkan, stok ayam yang dia dan beberapa rekan peternak sediakan habis terjual hanya
dalam hitungan minggu. Sehingga keuntungan saat itu bisa mencapai dua bahkan
tiga kali lipat dari biasanya.
Sekarang
saya tidak tahu persis bagaimana perkembangan usaha ternak teman itu. Karena sejak
menceritakan perihal keuntungan yang menurutnya fantastis itu, saya belum
sempat berkunjung lagi ke rumahnya. Semoga saja tidak mengalami penurunan drastis
jumlah pemesan sebagaimana yang dialami si sopir travel. Artinya, saya tidak
ingin menyatakan bahwa tanpa acara-acara, baik yang bertaraf nasional maupun
internasional itu, usaha peternakan teman tersebut akan mati. Sebab, di
hari-hari lain yang jumlah tamu hotel dan restaurant memadai, tentu permintaan barangnya
juga akan tetap ada, meski menyesuaikan dengan kondisi.
Maksud
saya, secara sederhana di sinilah kita bisa melihat keterkaitan antara pariwisata
dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Memang tidak diragukan lagi, meski
bukan sumber utama kemasukan daerah kita, sektor pariwisata memiliki andil yang
besar terhadap siklus ekonomi (masyarakat) di berbagai lini. Ketika angka
kunjungan wisatawan meningkat, roda perekonomian masyarakat juga akan membaik.
Begitu pula sebaliknya. Hanya saja, persoalannya saat ini adalah sejak bencana
gempa melanda pulau Lombok dan Sumbawa (NTB), angka kunjungan tersebut
cenderung menurun.
Sejalan
dengan apa yang saya paparkan di atas, menurut data BPS, jumlah kunjungan
wisatawan ke Lombok merosot hingga 69,18 % pasca gempa Agustus lalu.[2] Padahal
sebelum gempa, atau pada bulan Juli lalu, jumlah pengunjung mencapai 13.980
orang. Namun, pada Agustus turun drastis menjadi 4.300. Lebih jauh lagi, dampak
tersebut bahkan berskala nasional. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menyebut penurunan
angka turis sudah sekitar 100.000 orang jika dihitung sejak 29 Juli 2018. Angka
tersebut tentu tidak sebanding dengan tahun lalu, menurut laki-laki kelahiran
Banyuwangi itu.[3]
Jadi,
persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa memugarkan kondisi tersebut? Tentu
hal ini bukan berarti mengenyampingkan penanganan pasca gempa lainnya seperti percepatan
rehabilitasi bangunan (rumah atau hunian tetap dan fasilitas umum), trauma healing (penyembuhan trauma), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan
lainnya. Akan tetapi, agar laju perekonomian masyarakat dan daerah bisa
berkembang di tengah penanganan-penanganan yang telah disebutkan tadi.
Festival Budaya
Sebenarnya
ini tidak terlepas dari soal waktu. Seiring normalnya kondisi alam NTB,
khususnya pulau Lombok, saya kira angka kunjungan akan kembali normal. Terlebih
Lombok memiliki branding name di mata
internasional sebagai halal tourism
object (objek wisata halal). Kemudian, selain dikenal akan keindahan
alamnya, ia juga memiliki keragaman dan keunikan budaya yang dapat memantik minat
wisatawan. Karenanya, ikon ini harus terus dimanfaat untuk memasarkan objek
wisata yang terdapat di NTB.
Salah
satu cara yang dapat kembangkan adalah dengan mengadakan festival-festival
budaya daerah. Jika bulan yang lalu, beberapa kampanye NTB bangkit dalam bentuk
kegiatan olahraga seperti Mekaki Marathon di Lombok Barat dan TNI Internasional
Marathon di Lombok Tengah, sukses diselenggarakan. Maka, format kegiatan
berikutnya dapat disemarakkan berupa festival-festival budaya daerah. Seperti
yang diselenggarakan di Lombok Utara pekan lalu, misalnya, yang mengangkat tradisi
mandi safar.
Pemberdayaan Bahasa
Secara linguistis, ada lima fungsi dasar bahasa, yaitu fungsi
ekspresi, informasi, eksplorasi, persuasi, dan fungsi entertainmen.[4]
Satu dari lima fungsi itu, menurut saya, setidaknya yang dapat kita jalankan
adalah fungsi informasi. Fungsi ini memungkinkan kita untuk mengadakan
pemasaran baik secara langsung, melalui media (daring), maupun media surat
kabar (mainstream) arus utama. Di
media raksasa seperti Kompas, misalnya, ia memiliki kolom khusus yaitu kolom Pesona Nusantara untuk mempromosikan
berbagai objek wisata yang terdapat di seluruh tanah air (bukan berbentuk berita
pelaksanaan). Saya kira media arus utama yang terdapat di NTB juga bisa bekerja
sama dengan pemangku kepentingan untuk melakukan hal itu, demi mendukung
pariwisata di daerah kita. Artinya, apa yang saya maksud dengan pemberdayaan
bahasa di sini adalah upaya optimalisasi fungsi informasi yang dapat dikemas
dalam bentuk advertensi di media arus
utama.
Jadi,
yang menjadi fokus kita saat ini selain percepatan rehabilitasi bangunan (hunian
tetap dan fasilitas umum), trauma healing
(penyembuhan trauma), pelayanan
pendidikan, kesehatan, dan lainnya adalah upaya pemulihan ekonomi masyarakat
yang dapat dilakukan salah satunya dengan menghidupkan sektor pariwisata. Dan
apabila dua langkah strategis di atas dapat memberikan dampak signifikan, maka mereka
telah memberikan nilai tambah terhadap industri pariwisata di daerah kita.
Lombok
Tengah, 17 November 2018.
Marzuki Wardi, selain
berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Lombok Tengah, ia juga
aktif menulis cerpen, esai, dan resensi buku di berbagai media massa, baik
lokal maupun nasional.
[1] Sebutan Anda (lebih halus) dalam
bahasa Sasak Lombok
[2] https://kumparan.com/@kumparanbisnis/bps-kunjungan-wisman-ke-lombok-anjlok-69-persen-pascagempa-1538378746680964799
[4]
Kinneavy
(dalam Chaer, 2003: 33)