Reuni Hati Reny
Reny
masih menelekan kedua lengan di atas besi pembatas balkon hotel. Seluruh
perhatiannya ia serahkan ke perkebunan teh yang terhampar sepanjang mata bisa
menjangkau. Sementara, Irfan duduk di sebuah kursi di belakang Reny sambil
menyesap secangkir kopi, sehingga matanya hanya bisa menikmati lekukan
punggungnya yang terbalut long dress tipis. Reny tak pernah mengharapkan
kedatangan Irfan ke tempatnya. Hanya saja, ruangan mereka berdekatan, membuat
Irfan nekad mengunjungi beranda belakang ruangan Reny.
Selang
beberapa saat, terdengar suara jepretan kamera
telpon pintar Reny yang dibidik ke arah para perempuan pemetik teh yang menggayuti
keranjang di punggung mereka.
“Pemandangan
di sini indah juga, ya. Aku suka sekali. Oh ya, katanya kebun teh ini dulu di
tanam pertama kali oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa itu benar?”
tanya Reny, berusaha menghindari percakapan lebih jauh soal perasaan.
Irfan
merasa kesal tak mendapat respon dari Reny. Kebun teh rupanya mampu mengalahkan
kehadirannya di sisi perempuan pemilik bibir tipis dan mempesona itu, sehingga
tentu ia juga sama sekali tak menghiraukan basa-basi tersebut.
“Apa
aku perlu menjawab pertanyaanmu itu?” balasnya kemudian.
“Ini
adalah pertama kali aku ke puncak Bogor. Di rumahku tidak ada kebun teh,
kecuali kebun sawit milik perusahaan orang asing. Jadi, pertanyaanku merupakan
hal yang wajar, bukan?” timpal Reny lagi.
“Besok
semua peserta Diklat ini akan pulang kampung. Mereka semua sudah menukar cendra
mata. Hanya kita yang belum. Lagi pula, jika kedatanganmu hanya ingin melihat
kebun teh, tingallah di sini atau sesekali datanglah kesini biar aku bisa
menemanimu langsung menjelajahinya.”
“Apakah
kita perlu melakukan itu?” Reny melenguh seakan ingin membalas respon asal
Irfan barusan.
“Jika
kamu masih menganggapku penting, kenapa tidak?”
“Status
kita sudah beda, Fan, ingat itu.”
“Lantas?”
“Ya
untuk apa lagi kita mesti bertukaran apa-apa?”
“Sebagai
salah satu bukti reuni hati kita sekarang ini, Ren.”
Mulut
Reny geming, lalu memutar kepalanya ke arah Irfan. Sehingga tatapan mereka
sejenak bersirobok. Ia pun mulai kikuk. Sebenarnya ia tak ingin membenamkan pandangannya
di mata bundar Irfan. Ia takut kalau-kalau mata itu mampu memutar waktu dan mencuat
perasaannya kembali. Karena itu, ia segera mengalihkan mata ke arah semula.
Lipatan bibirnya yang bergincu merah muda tak ia buka barang sedikit pun.
Namun, upayanya tak berhasil. Mata itu sudah terlanjur menjalar ke dinding
hatinya, sehingga membuat ritme napasnya sedikit tak karuan.
Irfan
yang melihat kelebat mata Reny, tahu bahwa ada sesuatu hal yang ingin
disampaikannya. Akan tetapi, itu adalah suatu hal yang tak biasa sehingga hanya
cukup dengan menggunakan bahasa tubuh saja. Rupanya, orang jika sedang memendam
suatu rahasia seringkali tak sadar bahwa ia melakukan hal diluar
kesadarannya.
Ini
memang pertemuan pertama mereka setelah tak lama Reny memutuskan untuk
mengikuti bapaknya pindah ke Riau, selepas mereka kuliah lima tahun silam.
Bapak Reny adalah seorang pegawai pemerintah. Setiap lima tahun bahkan satu
tahun sekali dia biasa pindah ke Provinsi lain di Indoensia. Sebab itu, Irfan
pun memutuskan untuk menikahi wanita lain setelah memastikan Reny benar-benar
nyaman di tempat barunya itu. Saat kenyamanan sudah mulai menyelimuti
seseorang, pada saat itulah kerinduan dan kenangan lama akan mulai terkikis,
pikir Irfan. Itu pula waktu yang tepat baginya untuk beralih ke lain hati.
Irfan
sendiri tak bisa memaksa Reny untuk melakukan apa yang dia minta seperti saat
mereka menjalin hubungan dulu. Dan mereka memang sudah bukan siapa-siapa lagi
saat ini. Akan tetapi, saat hari pertama acara pertemuan penulis yang mereka
ikuti, Irfan benar-benar tak menyangka bahwa profesi yang sama rupanya bisa
mempertemukan mereka kembali dalam status yang berbeda. Sehingga tak ada
salahnya Irfan mengajak Reny untuk bertukar cendra mata sebagai bentuk reuni
hati mereka.
“Reuni
hati katamu?” seringai Reny setelah beberapa saat berusaha menguasai
perasaannya.
“Ya,
bagaimana menurutmu, Ren? Lagi pula, aku sudah bilang, istriku akhir-akhir ini
sering minggat dan tingkah lakunya uring-uringan. Aku bosan sama dia, Ren,”
sambung Irfan memecah kekakuan. “Kamu lihat bukit yang tinggi itu?” Telunjuknya
mengacung ke puncak bukit yang terdapat di depan mereka. Pohon-pohon teh masih
tampak menghijau di sana. Ia berharap hati Reny juga sesubur warna pohon itu.
“Menurutmu?”
“Ya
kali aja matamu ke sana, tapi hatimu menatap ke hatiku,” goda Irfan.
“Kamu
masih saja seperti dulu, Fan. Ge er.
Lagi pula, aku tak punya sesuatu untuk ditukarkan.” Reny mendengus dan menyeret
pandangan ke arah kabut di balik gunung yang mengintip mereka. “Lagi pula…”
lanjutnya, “aku tak bisa melakukan itu. Kamu lihat, kan, cincin di jari manis
kiriku?”
Perasaan
Irfan semakin tak karuan ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Reny.
Seolah perasaan ketika mereka masih berpacaran dulu kembali mencuat saat ini.
Dan itu bukan semacam de ja vu. Melainkan,
mereka memang pernah sama-sama berjanji untuk saling setia dua tahun lalu.
Mereka pernah melalui hari-hari bersama di kampus selama bertahun-tahun. Saat
itu Reny selalu mengungkapkan keinginannya untuk mati bersama Irfan. Entah,
Irfan pun tak tahu apa alasan kekasihnya itu menyatakan hal yang mereka
sama-sama tidak tahu kapan itu akan terjadi. Ia sering kali bilang bahwa hanya
maut yang bisa memisahkan mereka. Namun, kenyataannya, ketika Bapak meminta dirinya
untuk ikut pindah ke tempat tugas baru, Reny tak bisa menolak. Ia takut jika
menentang kemauan bapaknya, bisa-bisa ia berbuat nekad dan tak mau lagi
menganggapnya anak. Tentu Reny pun akhirnya lebih memilih Bapak ketimbang
cintanya pada Irfan. Dan ia sendiri menyadari bahwa perpisahan itu bukan
semata-mata salah Irfan ataupun dirinya. Melainkan sudah kehendak takdir yang
tak dapat ditebak orang.
“Maksud
kamu?” selidik Irfan penasaran.
“Iya,
aku sudah bertunangan dengan seorang pria di kampungku, Mas.”
“Kenapa
kamu tak pernah cerita?”
“Apa
perlunya aku melakukan itu? Mas sudah beristri, jangan egois.”
“Apa
begitu cepatnya kamu melupakan aku dan janjimu dulu untuk mati bersamaku?”
Reny
kembali melipat bibir dan melengos. Kali ini lebih erat dan lekat. Sementara
Irfan tersentak, seakan tak menyangka jawaban itu akan meluncur dari mulut Reny.
Tapi Reny sebenarnya sadar bahwa ia juga masih memiliki perasaan yang sama
dengan Irfan. Hanya saja ia tak mungkin kembali padanya. Perjodohan yang
dilangsungkan oleh bapaknya dengan seorang pria melayu di kampungnya beberapa
waktu lalu, tak mungkin bisa digagalkan begitu saja.
Degup
jantung Irfan terasa makin berat. Kini ia mendekati Reny dan berdiri sejajar di
sampingnya. Lengan kanannya ia tempeli ke lengan kiri Reny. Lalu ia menyibak
rambut hitamnya yang tergerai lurus dikibas angin senja dengan jari bergetar.
Kamu masih cantik seperti dulu. Tak banyak hal yang berubah pada dirimu, gumam
Irfan dalam hati. Namun, Reny lebih dulu menepis tangannya dan menggeser
kakinya menjauhi Irfan.
“Aku
tak mau ada kenangan lagi dalam pertemuan ini, Fan,” lirih Reny.
“Maksud
kamu?”
“Semakin
kamu menciptakan kenangan di hati kita, itu sama saja dengan menancapkan duri
di hati kita. Juga ke hati pasangan kita masing-masing.”
“Aku
tak peduli.”
Reny
menggeleng. “Kamu benar-benar egois, Fan. Sudahlah, aku mohon kamu keluar dari
ruangan ini. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Aku bebas menentukan jalanku
sendiri, sebagaimana Mas menentukan jalanmu sendiri.”
“Besok
pagi, kamu berangkat pulang jam berapa?”
Kali
ini Irfan berharap mereka bisa bertemu untuk terakhir kalinya di bandara atau
di stasiun gambir jika Reny mungkin menggunakan kereta api ke bandara. Akan
tetapi, setelah pertanyaan terakhir itu, tak ada suara lagi berhembus dari
mulut Reny. Kecuali hanya telunjuknya yang menuding lurus ke arah pintu.
Sehingga perlahan Irfan menyeret kakinya keluar dari ruangan itu. Dan Reny sendiri menatap punggung Irfan dengan dada
sesak. Punggung itu sering dipeluknya dulu ketika masih kuliah dan dibonceng
saat diantar pulang. Ia menunduk dan berusaha mengendalikan perasaannya.
Beberapa titik air menetes ke dress
bagian dadanya. Kenapa nasib tidak pernah sepakat dengan hati? gumamnya.
Lombok Tengah, 8 September 2018.
Wardie
Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Ia tinggal di Lombok Tengah,
NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar