Hakikat
Berbangsa dan Bernegara dalam Sudut Pandang Islam
Oleh:
Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Bhirawa Surabaya edisi Jumat 7 September 2018 |
Judul : Kiai Hologram
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit
: Pertama, Maret 2018
Tebal
: 288 Halaman
ISBN
: 978-602-291-468-6
Kita
hidup di negeri yang tidak hanya memiliki kekayaan alam. Tapi juga budaya,
agama, ras, dan bahasa yang beranekaragam. Kendatipun demikian, bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal hidup rukun dan damai. Perbedaan-perbedaan dalam
berbagai lini tersebut justru dimanfaatkan sebagai alat untuk merajut tali
persaudaraan. Tidak heran bila “Bhineka Tunggal Ika” menjadi semboyan bangsa
kita.
Sayangnya,
akhir-akhir ini kita nyaris kehilangan jati diri tersebut. Berbagai ancaman persatuan
terus-menerus menghantui nasionalisme kita. Perundungan, persekusi, ujaran
kebencian (hate speech), intoleransi,
hedonis, dan beberapa kasus lainnya merupakan problematika sosial yang tidak
boleh dianggap sepele jika kita berkomitmen untuk merawat eksitensi kebhinekaan
kita. Karena meski sudah diancam dengan sejumlah sanksi, tapi masih saja tindakan
asosial tersebut menjadi santapan di kalangan tertentu.
Emha Ainun
Nadjib atau yang lebih populer dengan nama Cak Nun, melalui buku terbarunya
ini, mengajak kita untuk merenungi secara mendalam tentang hakikat berbangsa
dan bernegara kita. Jika ditilik dari judulnya, pembahasan buku ini seakan
berkutat hanya pada persoalan agama saja. Memang, sebagian besar konten esai bahkan
temanya berkaitan dengan agama. Akan tetapi, itu tidak terlepas dari persoalan kemanusiaan
dan kebangsaan. Dengan kata lain, beliau (penulis) hendak mengemukakan bagaimana
seharusnya berbangsa dan bernegara dalam konteks agama.
Pada
esai yang berjudul “Mengantar Anak-Anakku ke Gerbang Peradaban Baru” misalnya.
Penulis memaparkan transformasi peradaban lama (bersahaja) menuju peradaban
baru (canggih). Menurutnya, banyak pergeseran (nilai) yang terjadi sejak Indonesia
menjadi modern. Fondasi sosial banyak
yang berubah, konstruksi bangunan budaya berubah, landasan dan tujuan hidupnya
berubah. Manusia tidak lagi mengedepankan kemanusiaan, melainkan status sosial,
harta benda, dan kekuasaannya. Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak
untuk memeluk agama globalisasi (Hal. 41).
Pada
esai lain, “Tongkat Perppu dan Tongkat Musa”. Penulis membahas tentang makna khilafah yang baru-baru ini ramai
diperdebatkan. Menurutnya, khilafah itu
adalah benih atau biji. Bukan barang jadi semacam makanan yang sudah matang dan
sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maiidah (hidangan). Dengan demikian, khilafah akan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca
dan sifat-sifat alam yang berbeda. Biji khilafah
bisa tumbuh menjadi pohon kesultanan, kekhalifahan, kerajaan, republik,
federasi, perdikan, padepokan, atau komunitas saja (Hal. 157).
Buku ini
terdiri dari 5 bagian dan 45 judul esai. Semuanya membahas berbagai persoalan
kebangsaan dari sudut pandang Islam. Namun, tentu ia tidak berupa semacam
rumusan falsafah negara. Melainkan melalui esai-esai tersebut, penulis pada
dasarnya mengajak kita untuk berpikir dan memikirkan Indonesia. Dikemas dengan
bahasa yang santai—dalam arti tidak menggunakan
bahasa formal—dan sesekali diselingi lelucon, menjadikan kita
tidak jenuh menikmati esai demi esai. Buku ini sangat layak dibaca oleh setiap
elemen bangsa untuk merawat kebhinekaan kita.
Lombok
Tengah, 4 September 2018.
Marzuki Wardi, Alumnus
Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Mataram. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar