Firasat
Oak
Oleh:
Wardie Pena
Dimuat di SKH Minggu Pagi edisi Jumat 7 September 2018 |
Salim
masih terpekur di balik reruntuhan rumahnya. Tatapannya kosong. Sisa air mata
yang mengering di pipinya telah berubah seperti kerak yang menempel di kulit
panci. Tapi ia tak peduli dengan semua itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini
hanyalah wajah nenek dan adik kesayangannya yang mungkin masih tertimbun puing
bangunan. Gempa bumi yang melanda kampungnya tadi pagi tak hanya merobohkan
rumahnya dan ratusan rumah warga lainnya, tapi juga semangat hidupnya. Dengan
siapa lagi ia akan tinggal sekarang? isaknya dalam hati.
Sejak
kecil Oak[1]
Tantre, neneknya, memang sudah menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi Salim dan
Karim, adiknya yang masih duduk di bangku kelas IV SD. Ayah mereka sudah lama meninggal,
tepatnya sejak Karim baru dilahirkan. Sedangkan Ibunya telah menikah lagi
dengan seorang laki-laki dari luar kota. Hanya sekali setahun, pada saat
lebaran, ia pulang kampung. Itu pun bukan untuk memberi uang biaya hidup. Tapi
untuk ngomel-ngomel dan menuntut agar sepetak sawah peninggalan ayah Salim dijual
dan hasil penjualannya dibagi dua.
“Kamu
jangan mendaki dulu, gerhana tadi malam adalah gerhana yang tak biasa dari
sebelumnya.”
Nasihat
Oak Tantre pada pagi hari setelah
gerhana bulan, kembali mengiang di telinga Salim. Ia merasa menyesal telah
mengikuti egonya sendiri.
“Memangnya
kenapa, Oak? Bukankah gerhana bulan
adalah peristiwa yang biasa terjadi?” selorohnya waktu itu seolah mencemooh nasihat
Oak.
“Memang,
tapi firasat Oak sangat kuat bahwa
gerhana ini akan disusul suatu bencana besar. Dan Oak sendiri tidak tahu bencana apa yang akan terjadi,” jawab Oak dengan yakin.
“Dari
mana Oak tahu itu?”
“Dari
langit. Sesungguhnya langit seringkali mengabarkan peristiwa yang akan terjadi
di bumi, hanya saja kita tidak pernah menghiraukan hal itu. Dan gerhana tadi
malam adalah salah satu contohnya.”
Salim
menyeringai. Rupanya pengaruh paham kuno dan mistik masih sangat melekat di
pikiran Oak. Setidaknya ramalan
mengenai bencana inilah salah satu contohnya. “Ah itu kan firasat Oak saja. Sebaiknya Oak jangan berpikir yang tidak-tidak,” balas Salim akhirnya lalu
bergegas masuk ke rumah untuk mengemas barang-barang yang dibawa mendaki. “Oh
ya Oak, Salim mau bawa bule, bayarannya dua kali lipat dari
turis lokal.”
Mendengar
jawaban cucu kesayangannya, Oak Tantre
hanya bisa terdiam. Di satu sisi, ia memang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Dan itu bisa terpenuhi bila Salim pergi ke puncak Rinjani untuk
membawakan barang-barang milik para pendaki manja. Kondisi tubuh yang sudah
ringkih membuat Oak tak mampu lagi
mencari nafkah.
Sejak
menamatkan jenjang pendidikan SMP, Salim sudah bekerja sebagai porter di gunung Rinjani. Letak rumahnya
yang dekat dengan rute pendakian, menjadikannya mudah saja mendapat pekerjaan
itu dengan teman-teman lain yang sebaya dengannya. Bila musim pendakian seperti
saat sekarang ini tiba, Salim bisa meraup uang jutaan rupiah hanya dalam
hitungan minggu. Apalagi jika banyak pendaki turis asing, penghasilannya bisa
bertambah dua bahkan tiga kali lipat. Itulah kenapa ia tak mau menyia-nyiakan
kesempatan emas yang datang sekali setahun ini.
Jika
tak bekerja sebagai porter, ia memang
bisa saja menghabiskan waktunya bekerja di sawah peninggalan ayahnya. Akan
tetapi, hasil panen sepetak sawah tentu sangat jauh dari kata cukup untuk
sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebab itu, sawah tersebut Salim Tanami
singkong agar bisa disambangi sesekali saja. Akhirnya, setelah selesai mengemas
barang-barang yang hendak dibawa, Salim pun berangkat mendaki dengan terlebih
dahulu berpamitan dengan Oak.
Dua
belas jam menapaki jalur pendakian, Salim dan rombongan turis yang dibawanya,
tiba di pelawangan pada malam hari. Pelawangan adalah sebuah lokasi
penginapan antara jalur menuju puncak Rinjani dan danau Segara Anak. Salim mengajak tamunya menginap di sana selama satu
malam. Dan separuh waktu malam itu dihabiskan dengan mendaki ke puncak. Bukan
hanya berdiam di tenda saja. Biasanya mereka berangkat pada jam dua dini hari
dan kembali ke penginapan pada saat matahari mulai terbit, atau sekitar pukul
tujuh pagi. Tapi Salim sendiri tidak ikut ke puncak, karena ia harus memasak
sarapan buat tamunya.
٭٭٭
Matahari
sudah mengintip di balik punggung gunung. Rasa dingin yang mencekam perlahan
digeser dengan kehadiran raja cahaya itu. Salim terbangun dan menanggalkan
selimut tipis yang dibawanya dari rumah. Kakinya langsung beranjak ke jalan
setapak menuju tebing curam tempat para pendaki mengambil air. Di sana ada
beberapa pancuran air bersih yang bisa dipakai minum dan memasak. Salim tak mau
ketinggalan. Karena selain tak mau berdesak-desakan dengan pendaki lain, ia
juga harus segera memasak untuk lima orang majikan dadakannya—para pendaki asing.
Menu sarapan harus sudah siap begitu mereka turun, pikirnya
Namun,
sekembalinya dari tempat itu, belum sempat tangannya meraih beberapa alat
masak, Salim merasakan guncangan yang sangat kencang. Ia mendongak ke arah
puncak gunung, debu-debu beterbangan menutupi jalur pendakian. Beberapa pendaki
tampak tergelincir. Tanah landai tempatnya bepijak mulai retak. Pendaki-pendaki
lain di sekitarnya berteriak histeris dan berusaha menyelamatkan diri. Salim
pun turut berlari ke tempat yang lebih lapang. Seketika itu ia teringat Oak yang sudah ringkih dan adiknya yang
tinggal di rumah. Ia pun segera turun menerabas jalur pendakian dengan berlari
sekencang-kencangnya.
Ketika
sampai di rumah pada sore hari, Salim menemukan rumahnya sudah rata dengan
tanah. Lututnya bergetar lemas. Hanya menangis yang dapat ia lakukan untuk menyesali
rasa bersalahnya yang telah mengabaikan nasihat Oak.
“Sabar,
anak muda. Kamu harus tabah!”
Tepukan
ringan beberapa petugas berseragam oranye di pundak Salim, membangunkan
isaknya. Ia menengok lalu dikepit menuju tenda pengungsian. Di sana sudah
terbujur kaku mayat dua orang yang amat dicintainya, Oak dan Karim.
Lombok Tengah,
26 Agustus 2018.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi.
Bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar