Garep
Hawa panas
masih menyelimuti kampung Waru. Kampung yang terletak di kaki gunung Semparu
itu telah lima tahun di landa kekeringan. Padahal tidak biasanya daerah itu
mengalami kemarau berkepanjangan. Karena lokasinya yang terletak di dataran
tinggi, intensitas curah hujan cukup tinggi. Namun, kini hujan seakan tak sudi
menyapa tempat itu lagi. Tak pernah sekali pun hujan turun selama lima tahun
terakhir. Awan pekat hanya sesekali datang dan bergelayutan mengitari pemukiman
lalu kembali bergeser ke arah lain. Air sungai sudah mengering. Air sumur kian
surut meski berkali-kali warga mengeruk atau memperdalam sumur mereka. Waduk
yang terletak di ujung kampung yang selama ini diandalkan untuk mengairi sawah
ladang pun tak dapat dijadikan tumpuan harapan.
Kondisi itu
membuat banyak tanaman musnah. Tanah menjadi kering kerontang dan retak-retak.
Hewan ternak juga tak sedikit yang mati kelaparan dan kepanasan. Warga desa
saling berebutan air bersih jika suatu waktu datang bantuan dari pemerintah
kabupaten. Meski mengharapkan bantuan penyaluran air bersih itu tak ubahnya seperti
memaksa agar mata mampu melihat telinga yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan
dengan bercermin. Selain lokasi yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, jalan
sempit yang sudah seperti sungai kering karena serakan bebatuan, membuat pemerintah
jadi enggan menyambangi tempat itu.
“Aku sudah
bilang sejak awal bahwa Kiman itu
tidak bersalah,” ucap seorang tetua kampung Waru, Oak[1] Tede,
kepada para warga kampung.
Ia menjadi
semakin yakin, bahwa bala ini merupakan akibat kutukan ritual garep yang telah menelan nyawa Kiman
lima setengah tahun silam.
“Bukankah
kematiannya menandakan bahwa ia memang benar bersalah?” sahut seorang laki-laki
yang lebih muda dari Oak Tede.
“Aku tak yakin
dia mati lantaran meminum air suci
itu. Aku curiga Rekas mendatangi rumah Kiman sepulang dari sanggar, lalu
membunuhnya dengan cara melumpuhkan organ vitalnya atau bisa saja meracuninya,”
tandas Oak.
“Lalu, apa
yang bisa kita lakukan sekarang, Oak?”
tanya Jazuli, salah seorang tokoh pemuda di kampung itu.
“Kita harus
mencari Rekas dan mendesak Kepala Desa untuk mengadakan ritual garep lagi,” timpal lelaki yang sudah
berambut putih itu, lalu beringsut dari sekepat[2] tempat
ia dan masyarakat lainnya berembuk pagi ini. Mereka pun mengikuti langkah Oak Tede untuk mencari Rekas.
***
Malapetaka itu
bermula dari tuduhan Rekas, seorang warga yang kehilangan sepasang sapi. Ia
menuduh Kiman lah dalang di balik pencurian itu. Kebetulan memang malam ketika peristiwa
tersebut terjadi, Kiman sedang tidak berada di rumahnya. Melainkan ia sedang
menginap di repok[3] ladang
sayur miliknya di dekat lereng gunung Semparu. Selain itu, tuduhan tersebut juga
bukan tanpa dasar. Kiman adalah seorang mantan maling. Semua warga tahu betapa beringasnya
ia dulu menggondol barang-barang milik orang lain. Bahkan tidak jarang ia
melukai tuan rumah bila sesekali mereka berupaya melawan. Karena untuk
melancarkan aksinya, Kiman juga membekali diri dengan ilmu kanuragan yang
mumpuni. Keberingasannya lambat laun tersiar ke berbagai desa tetangga.
Sehingga banyak orang sekedar mendengar namanya saja, mereka sudah bergetar
ketakutan.
Atas dasar
itulah pemerintah desa bertindak tegas. Kepala Desa bersama elemen masyarakat sepakat
untuk mengusir Kiman dari kampung Waru. Ia boleh tinggal dan bermukin di mana
saja selama di luar kampung Waru. Namun, bagaimanapun juga, itu adalah masa
lalu Kiman. Setelah lima tahun diasingkan dan hanya sesekali pulang menengok kondisi
ayahnya yang sudah ringkih, ia akhirnya mengajukan permohonan agar diizinkan kembali
ke kampung Waru. Dan setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni
bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati
jika terbukti mengulanginya, Kiman akhirnya tercatat lagi sebagai warga di sana.
“Dari mana
kamu tahu bahwa pelaku pencurian itu adalah Kiman?” tanya Pak Bakir, Kepala
Desa Waru, ketika Rekas melaporkan peristiwa pencurian di rumahnya semalam.
“Apa Bapak
lupa bagaimana buasnya dulu Kiman mencuri?”
“Ya, tapi itu
dulu sebelum dia diusir. Sekarang Kiman sudah rajin beribadah dan ke ladang. Lagi
pula, dia sudah bersumpah di hadapan semua warga untuk tidak melakukan
perbuatannya lagi. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya.”
“Alah itu cuma
topengnya saja, Pak. Coba ingat-ingat, selama si brengsek itu dibuang dari
kampung ini, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, kasus
pencurian kembali merebak?” timpal Rekas meyakinkan Pak Kades. “Dan aku yakin
dugaanku benar, karena Kiman malam itu tidak berada di rumahnya, Pak!” tutupnya
mengakhiri pembicaraan.
Pak Bakir
tersedak. Pendapat laki-laki berperawakan seperti egrang itu ada benarnya juga.
Selama Kiman diasingkan, memang kondisi kampung menjadi aman damai. Tak pernah
terdengar seekor ayam pun yang dicuri. Akan tetapi, sekembalinya dua minggu yang
lalu, kasus pencurian mulai terjadi. Sepasang sapi milik Rekas adalah tumbal
pertamanya. Meskipun demikian, lelaki nomor satu di kampung Waru itu tidak mau
gegabah menghakimi Kiman sebagai pelakunya. Apalagi, di satu sisi, sumpah yang
diucapkan Kiman tidak main-main. Nyawa adalah taruhannya. Pak Bakir pun mengajak
para tetua kampung dan tokoh adat, untuk merundingkan langkah yang hendak
ditempuh dalam memecahkan masalah pelik tersebut. Hingga akhirnya mereka semua
sepakat untuk menyelenggarakan ritual garep.
Meski ada satu dua orang menolak, tapi suara mereka kalah banyak dengan yang
setuju.
Begitulah
memang tradisi yang dijalankan masyarakat di kampung tersebut. Ketika kasus
kriminal, khususnya pencurian, tidak dapat ditemukan pelakunya dan menimbulkan
perkara baru, maka dilaksanakanlah semacam pembuktian melalui ritual garep. Yakni upacara meminum air suci
yang diambil dari sebuah makam keramat di kampung Waru, oleh dua pihak yang
sedang berselisih. Itu pun melalui proses panjang dan musyawarah bersama tokoh
dan tetua kampung, karena ritual tersebut akan menelan korban kematian atau
bala bencana.
Dua malam
berikutnya, semua warga kampung berkumpul di sanggar desa untuk menyaksikan
ritual sakral tersebut. Rekas dan Kiman duduk di tengah dikelilingi para tetua
dan tokoh kampung, tak ubahnya seperti dua orang terdakwa persidangan. Meski dikerumuni
hampir ratusan orang, tapi suasana sanggar tampak hening. Hanya sesekali
terdengar bisikan-bisikan ringan dari depan sanggar. Selain untuk menghidmatkan
jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang
akan menjadi korban?
Setelah meminta kesiapan mereka berdua, Oak Minarsih, seorang tokoh adat, menyodorkan
dua cangkir yang hampir serupa mangkuk berisi air suci. Rekas lekas meraih
cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu
menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Kiman setelah
memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar
terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Rekas, pastilah Kiman yang sebentar
lagi akan terkapar, pikir mereka.
Tak lama
kemudian, terdengar teriakan lantang dari mulut Kiman. “Aku sudah bersumpah di hadapan
kalian untuk tidak mencuri lagi. Dan malam ini pun aku bersumpah, jika aku mati
lantaran meminum air ini, semoga Rekas baik-baik saja!”
Seperti halnya
Rekas, ia pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu
saja. Suasana di seputar sanggar semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu
terpaku pada tubuh Kiman, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah
beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka berdua yang tergeletak
di tempat. Bulan sabit sudah merangkak di atas atap sanggar, menandakan malam
telah berbau pagi. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang
dengan perasaan lega. Tapi, rasa lega itu tak bertahan lama. Esok harinya jasad
Kiman ditemukan terkapar di bawah pohon pisang di belakang rumahnya.
***
Oak Tede dan
beberapa orang warga telah sampai di depan rumah Rekas. Laki-laki yang berjuluk
Tuan Sapi—karena memiliki puluhan ekor sapi dan
terbanyak di kampung Waru—itu sungguh
terkejut melihat kedatangan Oak.
“Ada apa Oak mengajak orang ramai-ramai ke
rumahku?” tanyanya.
“Meminta
pertanggung jawabanmu!” timpal Oak.
“Pertanggung
jawaban apa?”
“Atas kematian
Kiman.”
Rekas sebenarnya
sudah bisa menduga bahwa kedatangan lelaki berjangat kisut ini akan
membicarakan soal kematian Kiman. Selain tidak punya urusan apa-apa dengannya,
dia lah satu-satunya yang bersi keras membela mantan maling itu ketika
musyawarah bersama para tokoh kampung dulu. Pikiran Rekas pun berkelebat pada peristiwa
yang terjadi hampir enam tahun lalu. Saat itu, sepulang dari ritual garep, ia dan dua orang temannya
mendatangi rumah Kiman, lalu mengikat tubuhnya dan meminumkan racun dan
membuang mayatnya ke belakang rumah setelah membuka ikatan tali. Tapi, mengakui
hal itu saat ini tentu saja sebuah kekonyolan besar.
“Sudahlah,
Kiman sudah menjadi tanah. Untuk apa lagi Oak
membahasnya sekarang,” jawabnya enteng, setelah beberapa lama terdiam.
“Tidak bisa
begitu. Aku yakin Kiman tak bersalah. Kamu pasti telah membunuhnya, dan
sekarang kita semua kena dampak ritual garep.”
“Terus, mau Oak apa sekarang?”
“Garep harus kita laksanakan kembali.”
“Tidak bisa
begitu!”
Wajah Rekas berubah
merah mendengar kalimat terakhir Oak. Kematian
Kiman cukuplah sebagai penebus hilangnya sepasang sapinya. Masa ya harus
melakukan ritual itu lagi? Jika itu ia lakukan, sama saja artinya dengan
menggali liang lahat sendiri, pikirnya. Ia pun bersi keras mengelak bertanggung
jawab.
“Kalau kamu
memang merasa benar, kenapa kamu mesti takut?” celetuk salah seorang pemuda
yang membuntuti Oak.
“Siapa yang
takut? Tapi itu percuma, anak muda!”
Adu mulut tak
berlangsung lama setelah Oak meminta
mereka menyergap tubuh Rekas, lalu memaksanya ke kantor desa. Atas dasar
musyawarah tokoh adat dan tetua kampung, dua hari kemudian ritual garep kembali dilaksanakan. Namun,
beberapa hari setelahnya, hujan tetap tak turun-turun. Bahkan, mereka menunggu
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bermusim-musim, bertahun-tahun, belum
ada tanda-tanda hujan akan mengguyur kampung Waru. Sementara, ritual garep sudah menelan dua orang korban:
Kiman dan Rekas.
Lombok
Tengah, 05 Agustus 2018.
Wardie Pena, Menulis
Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar