Lelaki Bermata
Teduh
Oleh: Marzuki
Wardi
Dimuat di SKH Rakyat Sultra Kendari edisi Jumat 7 September 2018 |
Aku sudah
berjalan cukup jauh melintasi persimpangan jalan kota. Tapi lukisan-lukisan
yang menggantung di leherku belum ada satu pun yang laku terjual. Tak terhitung
berapa pengendara mobil yang kutawari saat lampu lalu lintas hijau menyala.
Entah sudah berapa pengendara sepeda motor yang kusodorkan. Namun, tetap saja
jumlah benda ini utuh. Sepertinya peminat lukisan klasik di dunia ini sudah
mati semua.
Kini kuarahkan
kakiku ke sebuah taman kota yang tak begitu luas setelah mengusap keringat yang
mulai berseleleran di pelipisku. Matahari persis di atas kepalaku, menjilat
seluruh tubuhku yang kumal. Tapi kurasa matahari sebenarnya terpaksa menjilat
kulitku, karena sudah dua hari ini aku tak mandi. Andai saja ia seorang
manusia, tentu saja ia sudah muntah. Seluruh tubuhku bau sekali, seperti bau kandang
kambing. Itu kutahu dari orang-orang yang menutup hidung ketika berpapasan
denganku.
Kau tahu, semua
lukisan yang kubawa ini adalah buah tanganku sendiri. Karena memang sejak kecil
aku sudah menaruh minat dan pandai melukis. Awalnya, bakat ini kujadikan hanya
sekedar hobi untuk mengisi waktu saja. Tapi atas saran Paman Salim—adik Ibu satu-satunya yang mengasuhku—agar bakat
cemerlang ini dikembangkan, aku pun mulai menekuninya setelah menamatkan
pendidikan dasar. Sekarang aku sudah cukup besar, seumuran siswa kelas delapan SMP,
tapi tidak bersekolah lagi. Dengan modal peralatan lukis sederhana yang
dibelikan Paman Salim, aku sudah menghasilkan berpuluh-puluh lukisan wajah
seorang laki-laki dewasa yang kusebut ayah.
“Itu lukisan
siapa, dek? Boleh aku lihat?” tanya seorang laki-laki muda yang kutemukan
sedang duduk bersama pacarnya di taman kota.
“Ini adalah
lukisan ayahku,” sahutku sambil melepas dan mengulurkan salah satu lukisanku.
“Memang ayahmu
siapa?”
“Kata Ibu,
dulu ayahku pernah bekerja di beberapa bidang, diantaranya…”
Belum lengkap kalimat
itu meluncur dari mulutku, pemuda bertampang intelek tersebut lantas
mendahului, “Sebentar, maksudku apakah dia seorang aktor, ilmuwan, politikus,
negarawan, dewan, dan lain-lainnya begitu? Dan kenapa kamu bilang ‘kata ibuku’? Kenapa kamu tak tahu
pekerjaan ayahmu sendiri? Jangan-jangan kamu anak pungut, ya?”
Mulut pemuda
yang kuduga intelek ini ternyata brengsek. Terlebih ia mengatakan itu dengan
sedikit tertawa, seolah ingin memamerkan olokan murahannya di depan gadis cantik
tersebut. Sungguh menjengkelkan. Baru kutahu rupanya ketika seorang lelaki
berada di depan wanita, ia akan lupa diri sehingga berlagak semaunya. Termasuk menghinaku
yang baru pertama kali ini bertemu dengannya. Karena tak berminat menimpalinya,
aku pun berlalu di hadapannya tanpa meninggalkan sepenggal komentar.
Sekitar
sepuluh meter dari tempat si pemuda brengsek dan pacarnya itu, mataku menangkap
sebuah tempat duduk yang masih kosong di bawah pohon kenari yang cukup tinggi. Aku
segera mendaratkan bokong di sana dan melepas tiga lukisan yang berukuran
sedang di samping kananku, lalu mulai mengipas-ngipas wajahku yang rasanya
sudah gosong dengan sengatan matahari.
Pohon kenari
yang menaungi dudukan ini membuat suasana menjadi rindang. Ternyata salah satu
makhluk yang paling baik saat matahari sedang meluapkan energinya adalah pohon.
Udara segar mulai bertiup. Aku berhenti mengipas wajah. Dan aku mulai
menghimpun pikiran agar bagaimana lukisan-lukisan ini bisa laku terjual. Aku
coba mengingat-ingat beberapa pedagang yang kutemukan di perempatan barusan,
dengan maksud mengikuti jejak penjualan. Seperti beberapa penjual koran itu,
misalnya. Namun, setelah berpikir-pikir, kebutuhan orang akan koran dan lukisan
tentu berbeda. Meski tak selaris makanan, tapi setidaknya koran selalu
dibutuhkan orang banyak. Orang pintar lah setidaknya. Dengan begitu, aku tak
dapat meniru trik berjualan dari rekan-rekan penjual koran.
Aku memindahkan
konsentrasi seorang lelaki pedagang mainan anak-anak yang juga kutemukan di
perempatan yang sempat kusinggahi tadi. Akan tetapi, nasib pedagang mainan
denganku tak jauh berbeda. Selama menjajalkan dagangan di dekat lampu lalu
lintas tadi, tak satu pun para pengendara atau pengguna jalan lainnya yang kulihat
membeli mainan. “Ah, Om itu juga bernasib sama denganku. Mana bisa aku
mengikuti trik jualannya,” gumamku sambil senyum-senyum sendiri.
Karena tak
dapat menemukan solusi, aku pun berhenti mencari cara menjual lukisan-lukisan
ini. “Yang penting tetap berusaha dan tak mudah bosan, suatu waktu orang pasti
mulai tertarik dengan lukisan-lukisanku,” pikirku sembari meraba ingatan
tentang waktu aku mulai suka melukis.
Saat itu aku
tengah berada di kelas empat SD. Pertama kali melukis atau tepatnya menggambar,
alat yang kugunakan adalah pensil kerayon yang dibelikan Ibu. Karena keinginan
kuat untuk melihat wajah asli Ayah, aku pun menggambar sketsa wajahnya.
“Ini gambar
siapa?” tanya ibunya saat itu.
“Ini gambar
Ayah, Bu.”
“Dari mana
kamu tahu wajah ayahmu seperti ini?”
“Aku lihat
foto Ayah di dalam laci Ibu.”
“Kurang ajar.
Sembarang saja kamu buka-buka laci Ibu. Itu bukan ayahmu. Ayahmu sudah mati
saat kamu dilahirkan. Lagi pula, wajahnya tak setampan itu. Kalau kamu mau
melihat wajah ayahmu, pergilah ke kebun binatang. Udah, daripada kamu gambar
dia, lebih baik kamu gambar Om Bery saja yang lebih kaya dan keren!” bentak Ibu.
Aku hanya diam
ketika Ibu mencercaku. Entah kenapa setiap kali menyinggung soal Ayah, Ibu selalu
geram dan berkata kasar. Aku memang tidak tahu di mana Ayah berada, tapi aku
yakin bahwa foto yang kutemukan di dalam laci Ibu saat itu adalah dia. Karena
aku merasakan semacam ikatan batin yang sangat erat ketika menatap foto
laki-laki berwajah tirus dalam selembar kertas itu.
Aku ingin
sekali bertemu Ayah. Namun, sampai kapan pun hal itu sepertinya tak mungkin
dapat kulakukan. Sebab, setiap kali menyebut kata Ayah, Ibu pasti bilang dia sudah mati. Dan mengenai Om Bery yang
disebut-sebut Ibu itu, adalah laki-laki yang belakangan suka main ke rumah. Aku
sendiri tak mengerti kenapa laki-laki bertampang berang itu suka main dan
sesekali menginap ke rumah, meski sebelumnya Ibu juga sering kedatangan tamu
laki-laki beraneka rupa dan sikap pada diriku. Dan pada akhirnya, laki-laki
yang bernama Bery itulah yang mengajak Ibu kabur entah ke mana.
Sejak itulah aku
bebas menggambar wajah Ayah di atas buku gambar. Aku tak tertarik menggambar
Ibu. Karena dia suka galak dan kadang memukulku jika wajahnya sudah berubah
merah. Terlebih dia sudah meninggalkanku dan memilih pergi bersama laki-laki
bertubuh gempal bernama Bery itu. Untung saja ada Paman Salim yang beberapa
saat setelahnya membelikan kuas, palet, cat air, kanvas, dan peralatan lukis
lainnya yang serba seadanya untuk mendukung hobiku.
“Kamu sedang
menunggu siapa, Nak?”
Lamunanku
tiba-tiba terbangun dengan pertanyaan sesosok laki-laki yang berdiri di depanku
bersama seorang perempuan cantik. Aku mendongak dan mengedipkan kedua mata.
Perasaanku terasa tak karuan dengan kehadiran laki-laki bermata teduh ini,
seolah wajahnya tak asing di mataku. “Aku tidak menunggu seseorang. Tapi aku
sedang berjualan, Pak,” sahutku tergeragap.
“Oh ya,
berjualan apa?”
“Aku menjual
lukisan, Pak.”
“Boleh aku
lihat?”
Bapak yang kuduga
berusia 40-an tahun tersebut sepertinya mulai tertarik setelah melihat dan
memegang salah satu lukisanku. Akan tetapi, ia juga terlihat aneh setelah
memperhatikannya lebih detail, seperti sedang menemukan sesuatu yang dicari
sejak dulu dan tak diduga ditemukannya sekarang. Ia pun memintaku mengambil
lukisan lainnya. Namun, wajahnya tambah tertegun setelah kusodorkan dua lukisan
lainnya.
“Kenapa, Pa?”
tanya perempuan berkulit putih bening yang berdiri di sampingnya. Sepertinya ia
merasa ada yang aneh dengan gelagat suaminya.
“Ah tidak ada,
Ma. Papa suka aja sama lukisan ini. Oh ya, berapa harganya, Nak?” tukasnya
mengalih perhatian kepadaku.
“Seratus ribu
per lukisan, Pak.”
“Aku ambil
semuanya, ya.”
Laki-laki
berpakaian perlente dan serba abu di depanku ini kemudian mengulurkan beberapa lembar
uang pecahan seratus ribu, lalu segera beringsut bersama istrinya.
“Pak, Pak,
uangnya lebih!” pekikku setelah menghitung jumlah uangnya. Ternyata sebanyak
lima ratus ribu rupiah.
“Ambil
semuanya buat kamu.”
Ia
terburu-buru masuk ke dalam mobil. Sementara, istrinya masih memandangku heran
dan tak mengerti sama sekali dengan apa yang sedang terjadi pada suaminya. Aku sendiri
masih menekuri mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang mereka kendarai. Entah
kenapa kehadiran laki-laki pembeli itu membuatku merasa begitu nyaman. Aku
meraba pipiku untuk memastikan apakah ini benar-benar terjadi ataukah sedang
bermimpi? Huuuh, aku baru sadar rupanya dia mirip dengan laki-laki bermata
teduh yang kulukis sejak dulu. Mungkinkah dia adalah orang yang kucari-cari selama
ini? Ah, mustahil. Matahari sudah mulai menyingsing di ufuk barat. Sebaiknya
aku segera pulang, lalu mandi bersih dan makan besar dengan uang lima ratus
ribu rupiah ini. Paman Salim pasti senang.
Lombok Tengah, 23 Juli 2018
Marzuki Wardi, menulis
Cerpen, Esai dan Resensi. Bermukim di Lombok, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar